Islam Dan Risalah Universal

Oleh: Geys Abdurrahman Assegaf Lc.

Prolog

Pada masa ini Islam sudah banyak terfitnah. Pendistorsian tersebut datang didalam pemberitaan, maupun sebab terejawantahkan dengan cara yang salah. Sehingga Islam dipahami hanya sebuah kepercayaan kolot yang sifatnya memaksa.  Islam didakwa hanya sebagai produk budaya bangsa Arab, sehingga tidak ada kerelevansiannya bagi bangsa lain. Sungguhpun hal ini merupakan homework bagi para cendekiawan Muslim khususnya untuk berusaha meluruskan apa yang bengkok dimanapun mereka berada.

Islam adalah sebuah tatanan hidup. Ia bukanlah sebuah ‘produk’ yang berbalut Arabisasi seperti digaungkan banyak orang. Terlebih Islam adalah sebuah petunjuk yang dengannya manusia memiliki land of vision yang lebih luas dan terarah, shalih li kulli zaman wa makan. Islam haruslah dipelajari secara menyeluruh, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Ibaratnya seseorang tidak akan bisa mengaku (Self-Claim) bahwa dirinya telah memutari lapangan sepakbola, padahal dirinya hanya penonton bahkan hanya berdiri diluar lapangan. Tulisan ini hanyalah sebagai madkhal atau pengenalan singkat bagi yang membutuhkannya.  Semoga bermanfaat.

Islam Muhammad, Sebuah Segel.

Kata Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab ia termasuk lafaz yang Musytarak, yaitu bermakna lebih dari satu. Ia berarti menundukkan, patuh, balasan, kebinasaan dst. Bagi bangsa Indonesia, ia dikenal dengan nama Agama yang berasal dari bahasa Sanskrit. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Agama adalah Murakkab Idhafi atau rangkaian kata yang digabung dari A yang berarti Tidak, dan Gam yang berarti pergi atau pindah. Jadi Agama adalah tidak pergi, tetap ditempat, dan diwarisi secara turun temurun.

Pada hakikatnya memang Agama mempunyai ciri yang demikian Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Agama berarti Text  yang memiliki tuntutan serta mengandung ajaran bagi para pemeluknya. Sedangkan kata Religi berasal dari bahasa Latin, yaitu Religere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca, ataupun mengikat. Intisari kandungan dalam asal semantique bahasa diatas ialah ikatan. Maka Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini berpengaruh  besar dalam kehidupan manusia dalam kesehariannya. Ikatan tersebut berasal dari satu kekuatan Mutlak yang MahaTinggi, Sempurna, Bijak, dan Uncomprehended tidak bisa dibatasi dan disamakan dengan sesuatu apapun.

Pada perjalanannya Agama Islam telah mengalami transformasi Syari’at sejak diturunkannya ke muka Bumi. Adapun Yahudi dan Nasrani mereka adalah kaum atau bangsa dan bukanlah Agama. Karena agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt didalam banyak sekali ayat Al-Qur’an. Mari kita coba renungkan Firman-firman Allah swt dibawah ini.

Allah swt telah Berfirman didalam Al-Qur’an: “ Ketika Tuhannya berkata kepadanya, Islamlah kamu, maka Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam.” (QS. Al-Baqarah; 131)

Dan telah mewasiyatkan (pula) Ibrahim dengan itu kepada anak-anaknya dan Ya’qub. Wahai anak-anakku, sesungguh­nya Allah telah memilihkan untuk kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati, me­lainkan hendaklah kamu di dalam keadaan Islam.” (Al-Baqarah: 132)

Atau apakah telah kamu me­nyaksikan seketika telah dekat kepada Ya’qub kematian, tatkala dia berkata kepada anak-anak-nya: Apakah yang akan kamu sembah se­peninggalku ? Mereka men­jawab: Akan kami sembah Tuhan engkau dan Tuhan bapak-bapakmu, Ibrahim dan Ismail dan Ishaq yaitu Tuhan Yang Tunggal, dan kepada­Nyalah kami berserah diri (Muslimin).” (Al-Baqarah: 133)

“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah : “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” (Al Baqarah:135)

“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.“ (Al Baqarah:140)

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Ali Imran:19)

Dari Ayat-ayat diatas maka jelaslah bahwa Agama yang diturunkan oleh Allah swt adalah Islam. Maka penisbatan kalimat Al-Diyanah Al-Samawiyyah  atau Agama-agama samawi adalah penisbatan yang kurang tepat. Namun ia adalah Al-Tasyri’at Al-Samawiyyah atau Aturan-aturan langit (Divine law).  Karena sejatinya mereka memang diberikan Kitab, walaupun tidak berjalan sesuai dengan Millah dan kitab-kitab tersebut sudah banyak mengalami pemalsuan. Karena itulah mereka dinisbatkan sebagai Ahlul Kitab dan bukan Ahlu Al-Diyanat Al-Samawiyyah didalam Al-Qur’an.

Imam Fakhruddin Al-Razi menjelaskan dalam Tafsirnya Mafatih Al-Ghaib bahwa yang dimaksud dalam ayat-ayat diatas adalah Millah Nabi Ibrahim as dan apa yang dimaksud dari wasiat beliau as kepada anak-anaknya adalah Islam dengan penjelasan yang terperinci.  Namun haruslah dicatat bahwa hendaknya kita membedakan, antara masalah Akidah dengan Syari’at kepada orang-orang Ahli Kitab dan Non-Muslim. Kendatipun Agama yang diridhai Allah swt adalah Islam, bukan berarti kita tidak bisa hidup berdampingan dengan mereka, apalagi jika hal sampai menjadi pembenaran untuk membunuh sesama umat manusia sebagaimana akan dijelaskan lebih detil dalam tulisan ini.

Al-quran dan Al-hadist telah menegaskan bahwa Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah Risalah Kenabian yang terakhir, penutup dari Risalah-risalah para Nabi sebelum beliau saw. Sebagaimana dijelaskan didalam Al-quran:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Ahzab:40)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Maidah:48)

Rasulullah Saw bersabda : “Perumpaan antara diriku dan para nabi yang diutus sebelumku seperti seorang pria yang membangun sebuah rumah yang megah dan indah kecuali sebuah bata yang hilang dari bangunan tersebut. Orang-orang akan berkeliling dan memuji bangunan tersebut, akan tetapi mereka berkata “ kenapa tidak kamu perbaiki saja bangunan ini ?“(bata yang hilang tersebut), maka Rasulullah saw menjawab, “ akulah bata itu, dan akulah yang terakhir dari para nabi.”

Dengan konfirmasi ini jelaslah bagi kita ummat Islam bahwasannya hukum Islam datang untuk menyempurnakan seluruh hukum keagamaan yang diturunkan sebelumnya dan bahwa risalah Muhammad saw adalah segel dari seluruh risalah kenabian. Islam menyediakan sebuah tatanan bernegara, bermasyarakat, mengatur kehidupan manusia hingga akhir masa kelak tiba. Sebuah hukum yang telah teruji coba dan aplikabel selama berabad-abad, ditangan para ahlinya. Sejarah mencatat musuh-musuh Islam dan non-muslimpun pun mengakui keadilan perundang-undangan Islam itu sendiri. Sebuah hukum dengan karakter berkembang, dapat diperbandingkan, serta lentur dalam menjawab tantangan yang membludak disetiap zamannya. Lebih lanjut silahkan merujuk kitab-kitab Sirah dan juga Tarikh yang sudah ditulis oleh para Ulama Salaf dan Khalaf.

Benarkah Risalah Islam Itu Universal?

Hukum Islam dengan peraturan, sistem, dan prinsip-prinsipnya telah mewarnai peradaban manusia selama ratusan Tahun lamanya. Sebagaimana Islam telah diturunkan sebagai pembimbing yang mengarahkan diri manusia kepada jalan hidup yang sebenarnya. Islam turun guna memperbaiki peradaban dan kesusilaan manusia, sehingga mereka dapat hidup layaknya seorang manusia, yang berdasarkan kemanusiaan, dan bukan kehewanan.

Islam tidak diperuntukkan bagi sebuah ras, teritori, ataupun untuk golongan tertentu. Sebaliknya seruan Islam membawa manusia kepada persaudaraan, tanpa membedakan suku, warna kulit, bahasa, dan berkewarganegaraan manapun. Manusia diangkat menjadi pemimpin, bertanggung jawab atas diri mereka juga atas berlangsungnya kehidupan diatas muka bumi ini melalui bimbingan Hukum Tuhan (Divine Law). Islam tidak mengusung fanatisme terhadap hal-hal tersebut, karena semua itu hanya yang menjerumuskan kepada perpecahan dan kebinasaan ras manusia itu sendiri. Hanya orang yang paling bertakwalah yang akan menjadi sebaik-baik manusia dihadapan Allah swt.

Allah ‘azza wa jalla berfirman :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Alhujurat:13)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “ Aku telah dianugrahkan oleh Alah apa yang tidak dianugerahkan-Nya kepada orang-orang ( para Nabi dan Rasul ) sebelumku : Allah telah memberikanku kemenangan yang sangat besar ( dengan memberikan rasa takut kepada musuh-musuh-Nya dari jarak 1 bulan perjalanan ketika berperang ), bumi telah dijadikan oleh-Nya suci bagiku ( dan bagi para pengikutku ) untuk shalat dan bersuci ( bertayammum ) supaya seluruh pengikutku dapat malaksanakan sholat dimana saja ketika waktunya tiba. Harta peperangan telah dihalalkan-Nya untukku ( dan para pengikutku ) yang tidak dihalalkan bagi kaum-kaum sebelumku. Aku dianugrahkan-Nya hak untuk memberikan syafa’at ( kepada para pengikutku pada hari kebangkitan kelak ). Para Nabi sebelumku diutus hanya kepada bangsanya saja, melainkan aku yang diutus untuk seluruh ummat manusia.”

Nushush (Text) diatas telah menegaskan kepada kita Keuniversalan Risalah Agama Islam. Sejarah pun telah mengonfirmasi bahwa Rasulullah SAW pernah mengirim pesan untuk para raja dan pemimpin, menyerukan kepada mereka untuk segera memeluk Islam. Sebutlah raja Abyssinia ( An-najasyi ), kaisar Persia, Byzantium Roma, dan Pemerintah Mesir. Beliau saw menyerukan didalam suratnya : “jika kamu memeluk agama ini (Islam) maka engkau akan memperoleh keselamatan dan ganjaran yang berlipat ganda. Akan tetapi jika kamu menolak Islam, maka dirimu akan menanggung dosa para petani dan kaummu.”

Jika saja risalah yang diusung oleh beliau saw tidak universal; sebagaimana klaim sebagian pihak, Nabi Muhammad saw tidak akan mengirimkan pesan untuk para pemerintah dan raja pada saat itu. Karena memang sudah menjadi kewajiban bagi ummat Islam untuk mendakwahkan Islam dimanapun dan kapanpun. Al-quran menegaskan : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”(QS. Ali Imran: 110)

Adalah sebuah fitrah bagi siapapun yang berakal dan berhati untuk menyadari eksistensi Sang  Maha Sempurna. Bertolak dari keyakinan inilah manusia akan memiliki konsistensi dalam menjalankan segala perintahnya dengan penuh ketaatan dan kesadaran. Esensi keimanan adalah risalah yang menjadi kewajiban ummat Islam, untuk disebarkan keseluruh penjuru dunia dan mewarnainya dengan peradaban yang kokoh, teratur, modern, dan bersatu dalam toleransi yang terarah.

Lantas Timbul Pertanyaan, Mengapa Islam Diturunkan di Arab?

Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam Fiqhu Al-Sirah nya menjelaskan, bahwa ntuk memahami hal ini maka setidaknya kita harus tahu bagaimana karakteristik bangsa Arab, Thabi’ah, serta letak geografis mereka dan memperbandingkannya dengan negri-negri selainnya sebelum Islam datang. Kita juga harus menggambarkan kondisi kebudayaan dan sistem peradaban bangsa-bangsa lain pada masa itu, seperti Romawi, Persia, Yunani dan India.

Pada waktu itu, dunai dikuasai oleh dua poros kekuatan superpower, Persia dan Romawi, menyusul setelahnya India dan Yunani. Persia adalah ladang subur bagi dunia khayalan dimana agama dan filsafat dipertentangkan. Diantaranya Agama Zoroaster yang dianut sebagai kepercayaan para penguasa negara. Diantara falsafahnya adalah mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya atau saudaranya, hingga raja Yazdajird II  yang memerintah pada abad ke-5 Masehi mengawini anak perempuannya sendiri . Belum lagi penyimpangan-penyimpangan akhlak dan kebejatan moral yang terjadi karena menganut sistem ibahiyyah atau Permisivism dalam budaya mereka. Di Persia juga terdapat aliran Mazdakia yang menurut Al-Syahrastani dalam Al-Milal Wa Al-Nihal, mereka menghalalkan semua wanita, harta, dan manusia sebagai perserikatan mereka seperti dalam masalah ari, api, dan rumput. Kontan saja aliran seperti ini mendapatkan sambutan meriah dan luas dari para pengumbar hawa nafsu. Pada masa pemerintahan raja Chosrus II (590-625 M), Persia dikalahkan oleh Heraclitus dari Kekaisaran Bizantium. Akibatnya kerajaan tersebut collapse sehingga pajak peperangan dan kehidupan mewah keluarga kerajaan sangat menekan bagi rakyat. Setelah jatuhnya Chosrus maka anggota keluarga kerajaan saling berebut kekuasaan, dalam pertarungan itu kaum militer dan feodal ikut serta. Dimasa antara Chosrus dan Yasdajird belasan raja silih berganti, mereka naik hanya untuk diturunkan atau mati dibunuh kemudian. Pertentangan antara Zoroastrian dengan aliran Nestor dan Monofisit  juga berperan bagi keretakan negara adidaya tersebut.

Romawi telah dikuasi sepenuhnya oleh semangat Kolonialisme yang dapat kita saksikan sampai hari ini, dari kegemaran Amerika dan negara-negara penjajah dalam melakukan pemerkosaan kepada negara-negara yang ingin mereka kuasai. Sejatinya filosofi yang digunakan oleh negri-negri ini adalah mata rantai dari kegemaran menjajah orang Romawi. Negri ini juga terlibat pertentangan antar keyakinan, Nasrani dan Romawi. Romawi sangat bergantung kepada kekuatan Militer guna memuluskan ambisi penjajahan dan menganggapnya sebagai petualangan dan permainan hawa nafsu semata. Negara ini pada masa itu tidak kalah amoralnya dari negri Persia. Pemerasan pajak dari daerah-daerah jajahan mereka ditarik dengan jumlah yang tidak wajar. Sehingga tak ubahnya kekayaan menumpuk pada satu titik, sementara kemiskinan merajai sisanya.

Dalam rumah tangga Ancient Rome, seorang ayah tidak berkewajiban merawat anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Anak-anak ini kemudian diletakkan dikedua kakinya, apabila ia mengangkat anak ini keatas dengan tangannya, maka artinya ia menerima anak tersebut, dan jika tidak maka itu artinya dia tidak menginginkannya sebagai anak. Anak ini bebas dimiliki siapa saja, mereka dibuang ke tempat-tempat peribadatan. Jika ada yang mengambilnya maka beruntunglah ia. Namun jika tidak maka ia dibiarkan mati kelaparan, kepanasan, atau kedinginan. Seorang kepala keluarga berhak memasukkan siapa saja ataupun mengusir siapa saja dari rumahnya dengan cara jual beli. Sistem jual beli ini diatur dengan 12 papan aturan selama 3 x penjualan untuk laki-laki, yang mana setelahnya dia bisa bebas. Adapun bagi perempuan dia selamanya tunduk pada kehendak kepala rumahnya. Kepemilikan ini berlanjut terus sampai akhir hayat anak-anak tersebut begitu juga terhadap istri-istri, cucu dan cicitnya. Hak-hak seorang kepala keluarga antara lain: Menjual, menghilangkan haknya, menyiksa, membunuh. Dari sini kita dapat memahami bahwasannya yang dimaksud adalah hak menguasai manusia sebagai barang/komoditas, bukan hak dalam menjaga, merawat, serta mengayomi. Hal ini terus berlanjut hingga datangnya pemerintahan Gustine (W 565 M), yang membatasi kekuasaan kepala keluarga sesuai dengan adab.

Adapun Yunani, mereka tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang tidak pernah memberinya kemanfaatan. Perempuan pada masa itu harus tinggal selalu dirumah dan dilarang memberikan sumbangsih apapun pada negara. Mereka tidak diberikan kesempatan belajar. Mereka dianggap sangat hina sehingga dinamakan najis yang diciptakan oleh syaithan. Perempuan adalah komoditi. Mereka dijual, dibeli, dan dijadikan alat pemuas syahwat dipasar-pasar. Sejak lahir ia tidak memiliki posisi apapun untuk menawar nasib dan haknya sebagai manusia madani. Perempuan tidak diberikan hak waris, seumur hidupnya ia adalah budak bagi para pria, dan menjadi kapan saja ia dapat istri sekehendak lelaki.  Diperbolehkan bagi laki-laki menghabiskan harta perempuan, dan mereka tidak memiliki hak cerai.  Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Mustafa Al-Siba’i dalam Kitabnya Al-Mar’ah fi Al-Islam.

Lebih lanjut di Sparta, perempuan diberikan hak-haknya, baik dalam Talak maupun Muamalah Maliyah. Akan tetapi ini disebabkan karena mereka tinggal di negara yang selalu berperang. Semua laki-laki pergi ke medan perang meninggalkan semua urusan-urusan kepada perempuan  karena mereka tidak ada. Maka di negri ini dapat dipastikan wanita bebas berjalan-jalan kemana yang mereka suka. Akibatnya, kebejatan moral dan asusila tidak dapat dihindarkan. Hubungan sejenis merajalela, segala perbuatan menjadi boleh. Filsafat Ibahiyyah  dan kegemaran berperang sehingga lepas tanggung jawab inilah yang dicela oleh Aristoteles karena akhirnya malah merusak akhlak. Pornografi dalam bentuk pahatan dan lukisan dinamakan sebagai seni. Mereka menganut agama yang memperbolehkan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang diharamkan, sebagaimana kisah dewi Aphrodite yang menghianati 3 dewa, pada awalnya ia adalah istri dari 1 dewa. Kemudian dia berzina dengan manusia sehingga melahirkan Cupid yang sering dinamakan sebagai dewa cinta. Homo seksual didewakan, hingga mereka memahat patung Harmodius and Aristogeiton sebagai lambang homoseksualitas mereka. Pada akhirnya kebejatan moral inilah yang menjadi jalan penghancur bagi bangsa ini. Begitupula India, tidak ubahnya seperti negri-negri yang telah dijelaskan sebelumnya atas kesepakatan para ahli sejarah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Al-Hasan Al-Nadawi  didalam kitabnya Madza Khasru Al-‘Alam bi Inhithat Al-Muslimin.

Adapun Bangsa Arab mereka hidup tenang dan jauh dari bentuk kerusakan tersebut. Mereka tidak memiliki kemewahan dan kemajuan peradaban Persia, yang memungkinkan mereka untuk lebih ‘inovatif’ dalam menciptakan kebejatan dan kemerosotan moral, serta filsafat Ibahiyyah yang dibungkus dengan nama agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi sebagai akomodasi untuk melakukan Conquest ke negri-negri lain. Mereka jauh dari dialektika Yunani sehingga mereka tidak terjerat dengan pemikiran khurafat verbal (Dikatakan pemikiran karena ada proses berfikir dan dialektika) sebagaimana bangsa Yunani termangsa olehnya.  Tidak ada perebutan kedudukan politik sebagaimana menjangkit negara Persia yang penuh dengan konspirasi dan kedzaliman karena syahwat kekuasaan. Karakteristik bangsa Arab tidak ubahnya sebagai Pure Ingredients atau bahan murni yang belum bercampur dengan bahan lainnya. Kemanusiaan, kesetiakawanan, loyalitas, dermawan, harga diri dan kesucian adalah ciri bangsa ini. Permasalahannya mereka tidak memiliki sebuah aturan yang mengarahkan mereka untuk mengejawantahkan secara benar, apa yang sudah ada didalam diri mereka. Akibatnya mereka membunuh anak dengan sebab demi kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan dengan alasan kedermawanan, membangkitkan peperangan antara mereka demi harga diri dan kepahlawanan. Kondisi Inilah yang digambarkan oleh Allah swt dalam Firman-Nya: “Dan sesungguhnya kami sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah: 198). Konteks ayat ini lebih tepatnya ditujukan kepada I’tidzar atau Excuse. Ia tidak dinisbatkan sebagai hinaan ataupun celaan. Hal ini karena apa yang bangsa Arab perbuat tidak sebanding dengan perbuatan dan amoralitas umat-umat sezaman mereka.

Jadi secara singkat dapat disimpulkan, bahwa turunnya Islam di Jazirah Arab bukanlah sebab mereka memiliki peradaban yang bathil ataupun agama yang menyesatkan, sulit diluruskan, banyak perdebatan, ataupun bangga dengan kerusakan mereka sebagaimana bangsa-bangsa lain pada waktu itu. Melainkan karena disana jiwa yang fitrah dari bani Adam masih bertengger didalam tubuh mereka. Sehingga ajaran Islampun berkembang dengan cepat dan pesatnya dari dalam hingga menuju keluar. Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa pada masa itu Dua negri Adidaya sudah mengalami masa Monopause  sehingga Ekspansi ajaran Islam mudah untuk diterima oleh Bangsa-bangsa lain. Sungguh ini semua adalah kuasa dan karunia Allah swt.

Bukti kenabian Dalam Kitab-Kitab Samawi

Kendatipun penuh akan penyimpangan dan pemalsuan, kebenaran atas kenabian Rasulullah saw dapat dideteksi melalui kitab-kitab agama samawi yang datang sebelumnya. Para ilmuan dan sejarawan agama lainpun mengakui hal tersebut. Diceritakan didalam injil barnabas ( 41:27) “ Betapa bahagianya ketika tiba saatnya dirinya akan datang kedunia, percayalah padaku, aku tidak pernah melihatnya dan menghormatinya sebagaimana para Nabi memberikan penghormatan mereka kepada dirinya, karena Allah akan menyiapkan para Nabi dari jiwanya. Ketika diriku melihatnya, aku merasa sedih dan berduka dan berkata, wahai Muhammad, semoga Allah menolongmu dan memuliakan aku dengan melepaskan ikatan sepatumu, karena jika aku melakukan hal itu, diriku akan menjadi Nabi yang agung dan paling suci dihadapan Allah.”

Didalam injil John (Johanes), salah satu dari kitab-kitab kanonik, menggunakan kata “paraclete” yang diambil dari kata dalam bahasa yunani “parakletos”, yang berarti penghibur,ataupun penolong. Yang menyerupai kata “ paraklutos” yang langsung berarti “ yang terpuji” yang dalam bahasa arab artinya adalah Muhammad, Ahmad, atau Mahmud. Al-Quran dan Al-Hadist menjelaskan :

Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”.(QS. As Shaf: 6)

Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Muhammad bin jubair bin mu’tim, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda : “ Aku memiliki lima nama : aku Muhammad dan Ahmad;…”

Dalam buku Izhhar Al-Haqq (Demonstration of the Truth), Rahmatullah Al-Hindi mengungkapkan : “Perbedaan antara dua kata yang terjadi dalam bahasa yunani adalah hal yg lumrah. Apalagi huruf-hurufnya juga banyak yang saling menyerupai satu sama lain. Dalam hal ini, kata “paraklutos” telah disimpangkan menjadi “parakletos” oleh para ahli kitab didalam beberapa edisi, dan yang paling berkepentingan untuk melakukan hal ini adalah mereka yang mengimani trinitas. “

Senada dengan Rahmatullah Al-Hindi, Dr. Hassan Dhiya’ ad-Din ‘Atir mengkonfirmasi penyimpangan ini didalam bukunya Nubuwwat Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallama fil Al-Quran ( Muhammad Prophethood in The Qur’an ), sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdul Wahhab An-Najjar : “Carlo Nelino, seorang orientalis berkebangsaan Italia menghadiri kuliah umum bahasa Arab di Dar Al-‘Ulum College, Cairo University, atas rekomendasi pemerintah Italia. Dia memperoleh gelar doktoralnya tentang literatur ke-yunani-an. Ketika masih menjadi murid, dia terbiasa duduk bersama syeikh An-Najjar hingga akhirnya mereka menjadi sahabat.

Pada suatu ketika, syeikh An-Najjar bertanya kepadanya, “Tahukah kamu apa arti dari kata ‘Parakletos’? “ ia menjawab, “para pendeta mengatakan bahwa artinya adalah Consoler (Penghibur). Aku (syeikh An-Najjar) menjawab, “Aku bertanya kepadamu sebagai seorang professor yang menguasai bahasa yunani, bukan sebagai pendeta!” Kemudian sang professor menjawab, “Artinya adalah seseorang yang sangat dipuji“, “ Maka aku bertanya, “Jika memang begitu, bukankah kata tersebut (Parakletos) adalah bentuk lain dari akar kata dari Hamida“ atau terpuji? “dia menjawab kembali, “Ya.” Kemudian aku berkata, ”Tahukah kamu bahwa salah satu diantara nama-nama nabi adalah ‘Ahmad.” Dia menjawab, “wahai saudaraku, sungguh engkau telah menghafal banyak sekali kata-kata.” Setalah itu kami berpisah menuju dua arah yang berbeda.“ Syeikh An-Najjar mengatakan : “Sesungguhnya aku telah mengerti makna dari surat ini ( As-Shaf : 6 ) didalam Al-qur’an :

”Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. As Shaf: 6)”

Dan apa yang telah disebutkan didalam injil mengenai hal ini (Paraclete), tidak lain adalah menceritakan akan kedatangan seorang nabi yang bernama Ahmad atau Muhammad, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Injil yang ada pada hari ini, kendatipun disimpangkan sedemikian rupa, masih tetap memuat wahyu tuhan yang benar. Sebagaimana Islam telah datang untuk menghapus semua hukum taurat dan injil, maka pada masa itu pulalah, risalah kenabian Muhammad saw, sebagai nabi penutup dengan risalah universal, diberitakan didalamnya.

Jika didalam injil diberitakan siapa nama utusan Allah yang terakhir, maka didalam taurat ( 5 kitab pertama yang terdapat didalam perjanjian lama ), didalam kitab Haggai (The Book Of Haggai) disebutkan : “Demikianlah, ketika raja dari para prajurit berkata : dalam waktu dekat, aku akan menggoncangkan langit ( surga ), bumi, laut, tanah, dan semua bangsa. Ketika orang yang dielu-elukan oleh semua bangsa ( hamdut ) itu tiba, aku akan mengisi rumah ini dengan keadilan.”

Menurut kamus-kamus dan catatan-catatan pinggir literatur yahudi, kalimat “Orang yang didamba-dambakan oleh setiap bangsa” yang terdapat didalam kitab Haggai tersebut dalam bahasa Ibrani berarti “Hamdut”. Sedangkan interpretasi dari kalimat “Hamdut” dalam bahasa arab berarti “Muhammad, Ahmad atau Mahmud”.

Sepertinya, raja dari prajurit-prajurit tersebut berkata “Aku akan mengguncangangkan seluruh bangsa dan ketika Muhammad datang, aku akan menyebarkan keadilan dirumah ini ;yaitu Baitul Maqdis/Yerussalem. Teks yang tertulis dalam kitab tersebut sebenarnya menyebutkan nama Muhammad dengan kata “Hamdut”,  akan tetapi penerjemah-penerjemah menyimpangkan kata ini menjadi arti yang berbeda dari pada yang seharusnya. Mereka mengartikannya dengan Musytaha, yaitu orang yang ‘didamba-dambakan’ oleh setiap bangsa, daripada Muhammad, yakni orang yang dipuji-puji oleh setiap bangsa.

Allah SWT berfirman: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Almaidah:13)

Sikap Islam Terhadap Ahli Kitab dan Non-Muslim.
Allah SWT mengetahui bahwasanya untuk menurunkan risalah Muhammad sebagai risalah terakhir/penutup, maka harus ada sebuah ‘Formula’ abadi yang mampu untuk membimbing umat manusia hingga akhir masa. Formula tersebut adalah penyempurna dari pada risalah yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Inilah mukjizat Rasulullah SAW yang paling hebat yang akan terus bertahan dan tidak akan pernah mengalami perubahan hingga akhir zaman seperti yang telah dijanjikan oleh Allah SWT didalam Alquran: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”(QS.Alhijr: 9)

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.”(QS. Almaidah: 50)

“Kemudian kamu (Bani Israel) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”(QS. Al-Baqarah 85)

“merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”(QS. Annisa: 151)

Kesemua ayat ini menunjukkan kewajiban bagi umat manusia (tidak hanya umat Islam saja melainkan juga para ahli kitab) untuk mempercayai risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai risalah penutup dan meyakini Al-Qur’an adalah kitab pembimbing yang mampu untuk mengayomi umat manusia hingga akhir zaman.

Namun, ada beberapa hal yang esensial serta substansial yang wajib dipahami sebelum kita mencapai kesimpulan bahwasannya Risalah Islam ini memang universal.  Kita telah melihat kelakuan orang-orang yang mengaku beragama Islam, namun ternyata salah dalam memahami Islam itu sendiri. Mereka membunuhi orang-orang non-muslim di negara yang menjaga hak-hak kaum muslimin dan menjaga hak-hak orang non-muslim. Teror Bom adalah hal yang paling ‘lumrah’ yang bisa kita temukan. Jika ada nama teroris disebut, tentulah kata yang mengiringinya adalah Islam.

Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, benarkah Islam mengajarkan demikian?

Agama Islam mensyaratkan harus sampainya seruan dan pengajaran Agama Islam atau Bulugh Al-Da’wah sebelum seseorang terkena Taklif  (Pembebanan Syari’at).  Sesungguhnya kita tidak bisa memaksakan kehendak  untuk mengislamkan orang lain, melainkan melalui Da’wah bil hikmah wal mau’idzah al-hasanah wa bi allati hiya ahsan, yaitu dakwah dengan cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan sebagaimana Islam diturunkan. Seorang yang berdakwah karena Allah swt hendaknya sabar dan ikhlas, sehingga benih-benih Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin tumbuh dan bersemi. Dakwah sendiri  sekurang-kurangnya mencakup 3 hal:

a. Berkaitan dengan pendakwah:

Apakah ia sudah benar-benar mempunyai kemampuan berdakwah, menguasai berbagai macam hukum islam, memahami Ruh Syari’at yang ada didalam agama Islam, ataukah hanya bermodalkan semangat membara tanpa dirinya mempunyai bekal yang cukup? Tidak mungkin seseorang akan sukses dalam bertani, melainkan ia haruslah menguasai ilmu agrikultural dan lahan yang akan digarapnya. Ia akan gagal bahkan sebelum musim panen tiba. Maka haruslah kita pahami benar, bahwa dakwah adalah sebuah jalan yang bukan hanya berisikan niat baik semata, namun juga harus dipersiapkan dengan matang oleh sang pendakwah. Dan dirinya harus selalu mengutamakan belajar ketimbang terburu-buru untuk menyampaikan, karena jika apa yang disampaikannya tersebut justru menyalahi syari’at, maka ia yang akan menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukannya.

Allah swt telah menegaskan dan mengingatkan tentang hal ini dalam Firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra` : 36)

Rasulullah saw juga telah menegaskan hal ini dalam sabdanya: “Siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan contoh yang jelek, maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Seorang  Da’i ilaAllah juga hendaknya berlaku lemah lembut dan welas asih, tidak kasar, keras, apalagi dengan mudahnya mengafirkan ataupun membid’ahkan. Hal ini adalah salah satu kunci kesuksesan dakwah Rasulullah saw dan juga merupakan ciri moderasi dakwah yang disebutkan oleh Allah swt didalam Firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”  (Ali Imran: 160)

Disini hendaknya kita berhenti sejenak dan bertanya, adakah kita sudah mengikuti petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya untuk bertawakkal, ataukah kita memaksakan apa yang sebenarnya tidak bisa kita paksakan? Disinilah ada makna Iman dan Tawakkal. Serta do’a didalam usaha. Allah swt menggariskan ketentuan-Nya dan apa saja yang dikehendaki oleh-Nya maka itu adalah kewenangannya.  Bahkan Rasulullah saw sekalipun ditegur dalam sebuah Ayat, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash: 56)

b. Berkaitan dengan Objek Dakwah:

Sang pendakwah hendaknya memperhatikan dengan benar, menganalisa dengan seksama, bagaimana keadaan objek dakwahnya tersebut. Ia haruslah memahami aspek-aspek yang mewarnai kehidupan mereka, sosial, kultural, psikologikal, serta sejarah daripada kaum yang akan didakwahi. Semata-mata agar dakwah tersebut berhasil memanen hasil yang baik. Seorang pendakwah dirinya tidak akan menceburkan dirinya kedalam lautan dakwah, kecuali dirinya telah mengetahui perihal dari medan yang akan diarunginya. Berapa banyak pendakwah yang gagal, padahal dirinya sudah memiliki kesiapan niat, hanya karena tidak memahami medan dakwahnya.

c. Berkaitan dengan materi dakwah:

Ibadah kepada Allah swt adalah main core  dari dakwah itu sendiri. Seorang pendakwah tidak akan memberikan materi tentang politik dan kekuasaan kepada orang-orang yang bahkan belum memahami ibadah-ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji mulai dari rukun, syarat, dan sunnahnya yang justru sangat mereka butuhkan. Karena jika tidak maka tak ubahnya memberi orang yang haus bukan dengan air minum, tapi dengan minyak tanah.  Jadi hendaknya kita memahami bahwasannya ada tahapan dalam berdakwah, yakni mengutamakan ibadah dan pemahaman yang benar, serta akhlak yang dapat mengiringi sebuah ritual ibadah dengan kekhusyu’an hati dan kehadiran jiwa. Dan ini bukanlah PR kecil bagi setiap pendakwah, karena dirinya harus terus mengaktualisasikan dirinya, sesuai dengan aktualisasi kebutuhan kaum yang didakwahinya.

Jadi dapat kita pahami bersama, bahwa hendaklah seseorang tidak serta merta merasa dirinya sebagai seorang yang sudah sangat ‘Alim bahkan merasa dirinya bagai Ulama besar yang berhak untuk berfatwa, karena justru akan menyesatkan. Apalagi sampai mendakwa dirinya berhak mengambil nyawa orang yang belum sampai padanya Dakwah Islam yang penuh rahmat dan kasih sayang ini.  Hal ini sesungguhnya telah menyalahi ajaran Islam dan ayat suci Al-Qur’an sendiri.  Karena Allah swt telah berfirman: “Sesungguhnya kami tidak mengadzab suatu kaum melainkan hingga kami kirimkan Utusan (pada kaum tersebut).” (Al-Isra : 15).

Islam tidak memerangi suatu kaum yang tidak memerangi Agama Islam, atau tidak membunuhi orang-orang Muslim di negara mereka.  Karena bagaimana mungkin seseorang tanpa kewenangan dirinya mengebom pemukiman orang non-Muslim yang hidup berdampingan dengan kaum Muslimin. Sementara Rasulullah saw ketika hidup di Madinah beliau berdampingan dan melakukan Tahalluf (Koalisi/kerjasama) dengan orang-orang dari suku-suku Yahudi disana. Dakwah dengan cara ini sudah dicontohkan pula oleh Rasulullah saw dalam sebuah Hadist yang masyhur riwayat dari Abu Hurairah mengenai orang Baduwi yang kencing didalam Masjid. Rasulullah saw bersabda: “Panggillah Baduwi itu dan tumpahkanlah pada air kencingnya setimba air atau ia akan berdosa (disebabkan) air kencingnya itu. Sesungguhnya kalian diutus untuk membuat kemudahan, dan kalian tidaklah diutus untuk membuat kesusahan.” (Hr. Bukhari)

Apakah lantas orang tersebut pantas mendakwa dirinya adalah pengikut Rasulullah saw yang sejati, atau malah sebaliknya? Lebih lanjut akan dibahas pada poin-poin selanjutnya, Insya Allah.

Jika Islam Tidak Memaksa Manusia Untuk Memeluknya, Mengapa Islam Memperbolehkan Peperangan?

kita dapat menjawab pertanyaan seperti ini dengan rangkain poin sebagai berikut;

1. Untuk menolak ketidakadilan dan penjajahan terhadap orang-orang Muslim dan negri-negri Islam. Pada permulaannya, ketika Rasulullah saw mengirimkan pasukan Ke Persia, sesungguhnya beliau telah mengonfirmasi dua hal terlebih dahulu: Pertama: Orang-orang di negri tersebut sudah banyak yang memeluk agama Islam. Kedua: Orang-orang muslim dipaksa untuk kembali Murtad dan jika mereka menolak maka mereka  akan dibunuh.

Kedua Trigger inilah sebenarnya yang memotori peperangan antara Agama Islam dan negri-negri seperti Persia dan Romawi yang merupakan kedua kekuatan Raksasa pada masa itu. Karena para penduduk negri tersebut sudah jengah dan bosan atas perlakuan pemerintahan mereka yang semena-mena dan hanya ingin mengeruk keuntungan pribadi serta menyengsarakan rakyatnya.  Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatas.

Jelaslah  dengan ini bahwa negara-negara tersebut telah menyatakan peperangan dengan memaksa dan membunuhi orang-orang yang memeluk agama Islam. Namun kita lihat bagaimana Rasulullah saw bersikap. Kendatipun hal tersebut sudah jelas adanya, Rasulullah saw tetap memakai protokoler dengan mengirimkan delegasi untuk menyerukan Agama Islam secara damai. Atau Shulh terlebih dahulu sebelum akhirnya kedua kerajaan Persia dan Romawi menyatakan peperangan dengan Islam setelah menerima surat tersebut. Jelaslah disini kiranya Islam bukanlah seperti yang dikira banyak orang, yang disebarkan dengan pedang dan darah demi mencapai kekuasaan.

Allah SWT menegaskan hal ini didalam Firman-Nya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Albaqarah: 190)

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”(QS. Alhajj: 39-40)

2. Islam tidak serta merta memerangi suatu kaum ataupun wilayah yang menjadi klaim kekuasaan pihak-pihak tertentu. Akan tetapi Islam datang dengan semangat perdamaian dan Rasulullah SAW selalu mengirimkan delegasi guna mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Dan tidak serta merta memerangi suatu kaum, sebagaimana sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW mengirim utusan-utusannya kepada raja-raja dan para amir di berbagai belahan negeri seperti raja Abysinnia (Al-Najasyi), kaisar Persia, Roma, dan pemerintah yang berkuasa di mesir.

Jika mereka tidak memeluk agama Islam setelah nyata penindasan mereka kepada orang-orang  Islam yang berada dalam kekuasaan mereka, maka mereka diharuskan untuk membayar Jizyah sebagai tanda bahwa mereka berada dibawah kekuasaan pemerintahan Islam, dilindungi, dan diberikan hak untuk beribadah sesuai menurut keyakinan agama mereka masing-masing, sebagai pengikat kesepakatan antara kedua belah pihak. Dan jika mereka menolak Islam dan membayar Jizyah, maka mereka menyatakan peperangan kepada Islam.

Wajib dicatat bahwa situasi peperangan seperti ini hanya memungkinkan jika suatu negara berhukum dengan hukum Islam yang sah, dan dipimpin oleh seorang pemimpin Muslim yang sah atau dikenal juga dengan terma Darussalam.  Ia tidak bisa dicetuskan sebagian kecil kelompok yang mendakwa mereka adalah pemimpin Ummat Islam yang sah. Karena kepemimpinan yang sah haruslah berdasarkan persetujuan dan bai’at rakyat seluruhnya, yang diwakilkan oleh wakil-wakil mereka dari kalangan cerdik dan bijak (Ahlul Hilli wal ‘Aqdi). Karena jika tidak maka kepemimpinan tanpa Bai’at ummat Islam keseluruhan berpotensi untuk diprovokasi dan rawan akan perpecahan internal.

Allah SWT berfirman: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(QS. Attaubah: 29)

Ayat ini mengandung beberapa pokok penting dalam kesepakatan antara pemerintahan Islam dengan kafir dzimmy (Yaitu orang non-muslim yang berada didalam kekuasaan Pemerintahan Islam yang Sah) antara lain sebagai berikut:

1.Umat Islam tidak akan memerangi mereka.

2.Umat Islam akan menjaga kekayaan, jiwa dan kehormatan mereka

3. Mereka memiliki kebebasan untuk melakukan ritual peribadatan baik disalam gereja-gereja, sinagog-sinagog ataupun dirumah-rumah mereka. Seperti yang pernah dilakukan Sayyiduna Umar bin Khattab ra. kepada orang-orang non-Islam yang ada di Yerussalem.

4. Mereka (kafir dzimmy) memperoleh hak yang sama seperti umat Islam didalam naungan pemerintahan
dan hukum Islam.

5. Mereka mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam terhadap jiwa, kehormatan, serta harta benda mereka apabila mereka mendapat serangan oleh musuh mereka dari luar. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Ra. mewasiatkan kepada penerusnya dan segenap ummat Islam, untuk tetap melindungi para kafir Dzimmy dari serangan musuh, dan tidak membebankan apa-apa yang ada diluar kesanggupan mereka, seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin, memberikan keadilan bagi mereka kaum kafir dzimmy yang berada dibawah naungan pemerintahan Islam, Jizyah ( upeti) tahunan dibayarkan pada akhir tahun Qamariyyah dan dikumpulkan dari kaum kafir dzimmy dibagi menjadi tiga bagian : 12 dirham jika mereka adalah kaum fakir miskin, 24 dirham dari kelas menengah, dan 48 dirham bagi mereka yang memiliki kesanggupan dan kemapanan ( kaya ).  Jumlah yang teramat sangat sedikit sekali dibandingkan ummat Islam yang diwajibkan bagi mereka untuk membayar zakat dan berbagai macam jenisnya. Begitu mulianya Islam hingga pada masa Kekhalifahan Sayyiduna Umar Bin Khattab ra tanah-tanah Fay’ di negri-negri yang Maftuh seperti Mesir, Irak, dan Syam ;yaitu tanah-tanah yang ditaklukkan tanpa peperangan besar atau menyerah dengan sukarela; diwakafkan untuk umat, bahkan diserahkan kepada yang memilikinya untuk dikelola sebagai sumber Kharraj (Pajak) ataupun Jizyah, baik orang tersebut Dzimmy ataupun Muallaf. Tanah-tanah tersebut tidak dirampas dan dibagi-bagikan sebagaimana perlakuan Negara-negara semisal Romawi dan Persia.

Sejarah juga mencatat, bahwa pada masa pemerintahan khalifah Umar bin ‘Abdul ‘aziz, seorang gubernur mengirimkan surat kepadanya. Isinya berbunyi : “pembayaran Jizyah telah menurun drastis karena orang-orang banyak yang memeluk agama Islam, oleh karena itu apakah tidak sebaiknya kita tetap menarik Jizyah dari mereka yang sudah memeluk Islam? “ maka sang Khalifah menjawab : “sungguh sangat buruk sekali pendapatmu! Sesungguhnya Allah SWT tidak mengutus Nabi-Nya Muhammad SAW untuk mengumpulkan uang, melainkan sebagai pembimbing seluruh ummat manusia. Ketika kamu menerima suratku ini maka hapuskanlah Jizyah dari mereka yang telah memeluk Islam.”

3. Dakwah Islam wajib menyentuh seluruh ummat manusia yang ada di muka bumi ini,. Dan sering kali dakwah ini menemui halangan dan ancaman dari berbagai pihak yang menguasi sebuah wilayah tertentu. Jika demikian, maka peperangan adalah sebuah sikap yang harus ditempuh setelah jalannya negosiasi menemui kebuntuan. Dalam hal ini peperangan juga terkadang dimasukkan sebagai salah satu syarat dari kedua belah pihak yang ingin berdamai dan salah satu atau kedua-duanya memiliki musuh yang memerangi mereka. Seperti ketika Islam mengirim ‘Ubadah bin Shamit sebagai ketua delegasi Islam kepada al-Muqawqis yang pada saat itu sedang dalam peperangan dengan emporium Bizantium, Roma. Maka dalam hal ini peperangan diperbolehkan untuk melindungi kesepakatan damai dan pakta peperangan antara keduabelah pihak.

Jadi jelaslah bahwa peperangan dan Agama bukanlah alat untuk mencapai syahwat kekuasaan dan politik. Namun lebih kepada keniscayaan bahwa Dakwah dalam bentuk pengajaran Isi dari Agama Islam serta diiringi dengan semangat untuk mau terus belajar adalah merupakan sebuah keharusan, bagi mereka yang betul-betul menginginkan kehidupan yang Islami dalam sikap, bukan hanya dalam nama. Karena sesungguhnya akal tidaklah bisa menentukan baik dan buruk secara mutlak sehingga ia menjadi kebablasan dan keras. Hati bukanlah sebuah timbangan mutlak sehingga menjadikan kebencian ataupun kelewat batas. Namun akal dan hati manusia haruslah berjalan beriringan bersama Nash atau Text Agama ini, sebagaimana Allah swt telah menciptakan akal dan hati bukanlah untuk disia-siakan, maka Ia menurunkan Al-Qur’an untuk membimbing dan bersinergi dengan keduanya.

Epilog

Tentu saja sangat banyak sekali aspek yang harus diketengahkan dalam menyuguhkan pembacaan yang lebih mendetail. Karena Islam meliputi banyak aspek yang tidak bisa hanya dipelajari sebentar melainkan bertahun-tahun dan dengan bimbingan oleh Ulama yang benar-benar mengerti akan agama ini. Syariat, Akidah, dan Akhlak adalah 3 hal esensial yang terkandung dari hadist Nabi Muhammad Saw mengenai Islam, Iman dan Ihsan. Seseorang yang betul-betul menginginkan Islam, haruslah mempelajari ketiganya dengan benar serta tidak memisahkannya. Karena hal itu seperti memisahkan Tubuh dari akal dan hatinya. Barulah mungkin kita bisa untuk paling tidak sedikit mengerti  bagaimana Ruh Islam yang sesungguhnya.

Namun semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan sedikit pandangan umum terhadap Islam yang selama ini selalu menjadi tertuduh atas aksi kekerasan yang sering disematkan kepadanya. Dan semoga kita selalu mengutamakan persaudaraan diatas perbedaan, persatuan diatas perpecahan, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.  Karena sesungguhnya Ridha Allah swt adalah bersama jama’ah.

Wallahu Al-Muwaffiq.

Leave a comment