Agree In Disagreement.

Oleh: Geys Abdurrahman Assegaf Lc.

Imam Fakhruddin Ar-razi, memberikan sebuah argumentasi menarik dalam kitabnya al-arba’in. Menurutnya dalil jumhur ahlusunnah itu lemah mengenai Istiwa, dan juga menolak pandangan satu shinfu lain dari hawadist (yang mana jumhur berpendapat 2, sedang razi menambahkan 1), yaitu Ghairu mutahayyiz wa laa al-haal fil mutahayyiz sebagai salah satu dari ciri hawadist. Dalilnya jumhur singkatnya bahwa hal tersebut adalah bathil. karena sama saja menyerupakan Allah swt dengan makhluk, dan juga meniscayakan kebutuhan Allah swt kepada makhluk.

(Memang benar, dalil ini agak lemah, dulu waktu membahas hal ini, saya memakai dalil jumhur dan dibantah oleh kawan diskusi salafi soal itu)

Namun imam Ar-razi berpendapat lain, bahwasannya tharf ketiga dari jenis hawadist ada sebagaimana disebutkan. Argumentasi beliau, karena jika saja dzat Allah swt terhalang karena berbeda dengan hawadist, dan menghalanginya untuk bisa istiwa, hal tersebut meniscayakan kesamaan sifat saling bertolak belakang. Akhirnya, Bertolak belakang adalah sifat yang berkumpul antara khaliq dan makhluq. Karena itu imam ar-razi berpendapat, bahwasannya istiwa tidak melulu harus mahiyah, karena istiwaa sendiri bukan mahiyah, namun sifat tsubutiyyah. Yang mana menunjukkan kesempurnaan Allah swt atas segala makhluknya. Namun tanpa menegasikan secara mutlak dari sifat-sifat keduanya. Manusia memiliki sifat kasih sayang (Rahim) yang mana adalah salah satu dari Nama-Nama Allah (Ar-Rahim). Jadi sifat bukanlah sebuah hakikat empiris, melainkan hakikat non empiris dan non-forma (dzaty) namun tidak bisa dinafikan keberadaannya. Maka Istiwa diatas adalah sebuah bentuk sifat yang sejatinya adalah sifat menguasai sesuatu sehingga hal ini dapat dianggap sebagai takwil yang benar.

Ahlusunnah wal jama’ah bersepakat, bahwasannya Allah swt ada tanpa tempat. DzatNya dan Kekuasaan-Nya tidak terbatas (Ghairu Mutanahi), karena terbatas (Mutahani) adalah ciri makhluq dan bukan khaliq. Dalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda;
مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ.

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.”

Artinya tidak bijaksana jika kita memaksakan secara literal pemahaman bahwasannya Allah swt memang diatas langit, namun pada saat yang sama diatas kursi, dan juga diatas ‘arsy. Karena hal ini adalah mustahil, sebagaimana mustahil bagi Allah menyatukan kekafiran dan keimanan dalam satu tubuh manusia (Al-jam’u bayna Naqidhayn).

Jika mau dipaksakan demikian, maka tidak ada bedanya islam dengan keyakinan pantheisme dan panentheisme. Wal ‘iyadzu Billah.
Singkatnya, satu hal yang dapat dipetik, bahwasannya kesamaan itu tidak harus sama dalam persamaan, sepakat dalam kesepakatan. Namun juga ada bentuk kesamaan dalam perbedaan.

Agree in Agreement, *agree in disagreement*, and agree in different.

Bagi kita makhluk, mengapa tidak mencoba untuk lebih menghargai perbedaan, dan lebih mencari kesamaan?

Allahu a’lam.

Leave a comment